Skip to content

Branding With Character

Branding With Character , Saya selalu berusaha melihat dan menganalisis sesuatu dari kacamata marketing, apa pun peristiwanya. Karena itu, pemilihan legislatif dan pemilihan presiden kali ini bagi saya adalah sebuah kompetisi pemasaran, bukan sekadar kontestasi politik.

Partai, para calon legislatif, serta para pasangan calon presiden hakikatnya sedang berusaha memasarkan brand mereka agar dipilih oleh rakyat sebagai customer. Masingmasing berusaha melakukan komunikasi pemasaran baik secara online maupun offline agar brand-nya bisa stand out from the crowd. Coba lihat, berapa banyak baliho caleg dan partai yang memenuhi jalanan kota saat ini? Banyak sekali! Tentu tidak mudah bagi setiap anggota legislatif untuk bisa menampilkan keunikan dan keunggulannya.

Fenomena ini mengingatkan saya pada buku yang saya luncurkan beberapa tahun lalu. Judulnya Marketing 2030. Di dalamnya, saya memprediksi bahwa elemen-elemen pemasaran akan mengalami transformasi di masa depan, terutama dengan perkembangan teknologi artificial intelligence serta fenomena sustainable development goals. Tentu saja, konsep branding termasuk yang mengalami pergeseran.

Image or Photo Marketeers Max

Why: Brand is Like Human

Bagaimana kira-kira praktik branding pada tahun 2030? Sebelum “jalan-jalan” ke masa depan, mari kita tengok sejarah perkembangan konsep brand ini di masa lalu.

Sejak istilah branding digunakan dalam dunia bisnis saat ini, muncul sejumlah tema umum yang hadir dalam penelitian mengenai branding oleh banyak akademisi. Tema-tema tersebut mengusung evolusi konsep branding mulai dari merek sebagai entitas sederhana menjadi sebuah entitas kompleks yang multidimensi dan multi fungsional.

Sebagian besar teori dan konsep yang membahas mengenai branding mengukur merek hanya sebatas aset. David Aaker misalnya, puluhan tahun silam mempopulerkan konsep bernama brand equity. Dalam tulisan lainnya, Aaker menegaskan bahwa merek yang kuat ibarat aset yang dapat memberikan nilai tambah bagi perusahaan dan pelanggan.

Konsepnya tentang ekuitas merek menjabarkan lima kategori aset utama untuk membangun merek yang kuat, yakni kesadaran merek, loyalitas merek, kualitas yang dirasakan, asosiasi merek, dan aset merek eksklusif lainnya.

Arus digitalisasi dan globalisasi kemudian mengubah tren lama terkait branding, dari hanya sebuah aset yang sifatnya simbolis menjadi sesuatu yang lebih emosional, di mana brand menjadi semakin “terhumanisasi”. Aaker dalam perkembangan selanjutnya menawarkan penggunaan Model 5 Kepribadian Manusia dalam psikologi (openness, conscientiousness, extraversion, agreeableness, neuroticism). Ia menghubungkannya dengan konsep merek dalam bisnis. Aaker merujuk lima model kepribadian manusia tersebut dan menawarkan lima dimensi kepribadian yang dimiliki dalam suatu merek.

Teori klasik dari Aaker di atas adalah cikal-bakal transformasi brand menjadi character. Secara tidak langsung, begawan branding ini sudah menggambarkan brand sebagai sesuatu yang lebih human. Merek digambarkan memiliki kepribadian layaknya manusia.

What: From Brand to Character

Di sekeliling kita saat ini penuh dengan merek produk yang terus-menerus saling berkompetisi untuk mendapatkan perhatian kita. Contohnya, ya baliho para calon anggota legislatif tadi. Selain persaingan yang semakin ketat antar merek, konsumen juga lebih selektif dari sebelumnya. Menghadapi kenyataan baru ini, menciptakan keterikatan merek yang emosional menjadi masalah krusial dalam manajemen merek. Lalu, bagaimana caranya?

Dari sini, kita dapat melihat peran merek telah berubah. Merek telah berubah dari sebuah objek menjadi sebuah subjek. Brand perlu memiliki “karakter” yang mendefinisikan dan menjadi identitasnya. Ibarat manusia, merek harus bisa tampil menjadi pemimpin dengan pengaruh yang kuat, namun bersikap setara saat berinteraksi dengan pengikutnya. Jangan sampai brand Anda dipersepsi sebagai pemimpin yang vertikal dan otoriter. Ini sudah bukan zamannya lagi!

Untuk itu hubungan kepemimpinan merek (brand leadership) terhadap konsumennya harus menjadi semakin horizontal. Artinya, brand berubah dari yang sifatnya “mendikte” dalam rangka mendapatkan konsumen, menjadi semakin mengandalkan kharisma untuk menggaet konsumen secara sukarela. Inilah pentingnya brand untuk memiliki character.

Konsep branding with character tersebut perlu disesuaikan dengan tren yang akan terjadi di masa depan, khususnya pada tahun 2030 nanti. Apa saja tren di masa depan yang dapat memengaruhi branding pada 2030 nanti? Setidaknya ada tiga tren besarPertama, perkembangan baru teknologi artificial intelligence dan metaverse. Kedua, dominasi Gen Z yang akan menggantikan generasi- generasi sebelumnya. Ketiga, tren kepedulian terhadap isu-isu sosial-lingkungan-berkelanjutan, dalam kerangka Sustainable Development Goals.

Anda bisa mendapatkan penjelasan terkait 3 tren di atas dalam buku Marketing 2030. Saya tidak akan membahasnya secara detail di sini.

    How: Branding with Character

    Dalam menciptakan merek yang berkarakter, perusahaan dapat melihat enam aspek penting dari seorang pemimpin yang horizontal. Enam aspek ini berasal dari buku WOW Leadership yang saya tulis beberapa tahun lalu. Dengan memperhatikan aspek-aspek ini, brand Anda akan bisa menampilkan karakternya sebagai pemimpin yang berkharisma di mata pelanggan. Tentunya perlu disesuaikan juga dengan tiga tren yang saya sebutkan tadi.

    Keenam aspek kepemimpinan bagi brand adalah physicality (fisik), intellectuality (intelektual), emotionality (emosional), sociability (kemudahan bersosial), personability (kepribadian), and moral ability (integritas moral). Kombinasi kedua konsep ini kemudian menghasilkan model brand as character, yang dapat dilihat pada figure 3.

    Model ini menjelaskan adanya konsep branding baru yang memiliki karakter kepemimpinan layaknya manusia. Merek yang berkarakter dapat menyebarkan “pengaruh” bagi konsumen dan calon konsumennya secara omni (baik offline maupun online, dengan pendekatan teknologi maupun pendekatan manusiawi).

    Image or Photo Marketeers Max
    Image or Photo Marketeers Max

    Keenam aspek “merek yang berkarakter” tersebut antara lain:

    1. Aspek Fisik (Physicality)

    Aspek fisik merupakan hal-hal dari merek, yang dapat dapat dirasakan oleh panca indra manusia. Aspek ini menjadi lapis pertama dari sudut pandang konsumen yang akan melihat merek kita. Karena itu, sebuah merek harus memperhatikan segi desain dan simbol yang muncul dari aspek ini.

    Tampilan fisik sebuah merek, harus bisa mewakili karakternya. Misal, sebuah merek yang berorientasi Gen Z, harus menunjukkan kesan muda, ceria, dan meyakinkan – melihat karakter Gen Z yang cukup dinamis dan berkarakter cepat. Untuk itu, brand bisa menggunakan logo yang mudah diingat, minimalis, dan modis. Namun aspek fisik tidak terbatas pada logo saja. Aspek fisik pun, juga termasuk kondisi fisik produk yang ditawarkan, kantor pelayanan perusahaan, hingga materi promosi yang digunakan.

    2. Aspek Intelektual (Intellectuality)

    Kita sudah melihat kondisi dunia yang dinamis dan terglobalisasi saat ini. Ditambah perkembangan teknologi dan digitalisasi, kemudian memaksa banyak bisnis harus beradaptasi pada perkembangan yang terjadi. Merek-merek yang hanya terpaku pada praktik lama dan statis, dijamin akan ketinggalan. Bentuk adaptasi ini misalnya, dengan mengadopsi fitur dan teknologi baru dalam produk dan aktivasi brand mereka. Jangan sampai merek Anda dianggap kuno atau kudet (kurang update) karena lamban dalam mengadopsi teknologi terkini.

    Contoh adaptasi aspek intelektual brand, dapat dilihat dari merek Balenciaga dan merek fesyen lain dalam ekspansi mereka ke Metaverse. Balenciaga misalnya telah mengumumkan penciptaan unit bisnis khusus untuk pemasaran dan perdagangan produk mereka di Metaverse. Selain Balenciaga, ekspansi merek ke Metaverse juga diikuti oleh berbagai merek fashion terkenal lainnya, seperti Gucci, Dolce Gabbana, atau Estée Lauder. Fakta ini menunjukkan bahwa merek-merek tersebut telah mengadaptasikan dirinya pada tren teknologi terkini.

    3. Aspek Emosional (Emotionality)

    Aspek ketiga dalam sebuah brand yang berkarakter adalah mampu memberikan sentuhan personal dan emosional kepada konsumen dan calon konsumennya. Fungsinya untuk dapat membangun hubungan emosional jangka panjang antara pelanggan dan produk atau bisnis, dengan memicu emosi mereka.

    Kita dapat melihat contoh aspek ini pada merek Nike. Iklan-iklan Nike menjadi salah satu contoh branding yang memanfaatkan aspek emosional yang sangat efektif di dunia pemasaran saat ini. Loyalitas pelanggan mereka sangat besar karena strategi branding Nike yang menggunakan pola tentang heroisme atau kepahlawanan dengan menceritakan kisah mereka. Iklan Nike jarang menyebutkan produknya. Sebaliknya, kampanye Nike membangkitkan emosi yang tepat melalui konten yang dibuat dengan cermat yang menceritakan kisah-kisah yang bermakna. Kisah tentang “kepahlawanan” Nike ini kemudian menjadi contoh efektif terkait karakter kepemimpinan brand dengan memanfaatkan aspek emosional.

    4. Aspek Sosial (Sociability)

    Aspek ini mengacu pada kemampuan merek bersosialisasi. Artinya, kemampuan sebuah merek untuk memfasilitasi hubungan di antara pelanggan. Teknologi digital semakin memudahkan interaksi antarmanusia. Perkembangan teknologi ini berpengaruh kepada cara brand memasarkan dirinya. Teknologi digital, tidak hanya dapat menjadi sarana pemasaran brand, namun brand tersebut dapat memanfaatkan fasilitas digital – media sosial misalnya – dalam menciptakan fasilitas interaksi antara brand dengan konsumennya, dan bahkan antar konsumen brand tersebut.

    Contoh, brand dapat membuat komunitas yang dapat menjadi platform diskusi brand tersebut. Kita dapat melihat brand dari developer game asal Swedia, Paradox Interactive. Paradox Interactive yang terkenal karena merilis video game strategi bertema historis, telah menciptakan forum komunitas dan berbagai event besar lainnya, di mana Paradox telah menciptakan interaksi antara pengembang gim, pembuat konten, dan pemain biasa dapat berinteraksi satu sama lain. Selain itu, Paradox juga aktif berdialog langsung dengan para pemain game mereka melalui platform media sosial seperti Twitch, YouTube, atau Paradox Forum. Fasilitas interaksi seperti ini, pada akhirnya juga terbukti berperan penting dalam mendorong advokasi merek, karena pesan-pesannya juga diperkuat oleh pengikut yang berpikiran sama.

    5. Aspek Kepribadian (Personability)

    Saat ini dan di masa depan, brand perlu menjadi semakin “berkarakter” dengan cara menunjukkan kepribadian yang baik. Aspek kepribadian atau personability mengacu pada karakteristik merek yang tak hanya mengejar keuntungan, tetapi juga memiliki visi mulia yang ingin diperjuangkan.

    Contohnya, Intel. Sebagai produsen semikonduktor No.1 di dunia, sumber bahan baku komponen ini kemudian penuh dengan risiko etika. Misalnya, terkait tambang mineral di Kongo, yang selama 20 tahun terakhir telah dirusak oleh konflik terburuk di dunia sejak Perang Dunia II. Selama masa konflik itu, mineral dari negara tersebut telah membiayai banyak milisi yang bertanggung jawab atas banyak korban jiwa.

    Karena itu, Intel telah membuat komitmen untuk memastikan bahwa bahan yang masuk ke dalam produknya bersumber secara bertanggung jawab. Produk Intel juga telah menampilkan tanda produk “Bebas Konflik” untuk memastikan bahwa konten produk diambil dari sumber yang bertanggung jawab. Label produk “Bebas Konflik” Intel ini, menjadi contoh mengenai visi perdamaian yang ingin mereka kampanyekan.

    6. Aspek Integritas Moral (Moral Ability)

    Aspek ini mengacu pada integritas moral brand. Hal ini merupakan bagian dari tanggung jawab merek tersebut untuk melindungi hak-hak yang dimiliki oleh pelanggan serta kemudian menjaga integritas moral brand tersebut. Bila merek secara konsisten dapat menjaga integritas moralnya, layaknya manusia, maka kepercayaan pada merek itu tumbuh. Agar merek dapat membangun kepercayaan jangka panjang, merek harus mampu menempatkan kepentingan pelanggan sebagai prioritas.

    Contohnya adalah Apple. Apple telah memiliki beberapa inisiatif untuk melindungi pengguna yang mungkin secara pribadi menjadi sasaran beberapa ancaman digital berbahaya. Apple juga telah memberikan hibah senilai US$ 10 juta untuk riset keamanan siber.

    Perusahaan yang membangun merek mereka berdasarkan enam aspek ini akan memiliki pengaruh kuat terhadap konsumen mereka. Persis seperti seorang pemimpin yang karismatik, di mana konsumen akan bergerak secara sukarela menjadi pengguna loyal brand Anda. Bahkan, mereka akan menjadi pembela saat ada yang mencoba mengusik brand Anda!

    Leave a Reply

    Your email address will not be published. Required fields are marked *